Jumat, 22 Januari 2010

wanita dalam islam

WANITA DALAM ISLAM

Wanita, menurut penulis ialah mahluk yang serba salah, namun di sisi lain sangat mengagumkan, bayangkan saja, dalam satu waktu baginda Nabi memerintah kita untuk menghormatinya dan di waktu lain Nabi memberikan aba-aba untuk berhati-hati bersanding dengannya.

Perhatikan saja seorang Sayyidah Khadijah yang menjadi istri Nabi, yang paling dicintai dan berbakti meskipun ia kaya raya, Sayyidah ‘Aisyah yang pernah bergelut di dunia perpolitikan Islam, Sayyidah Fatimah yang terus menuntut hak warisnya di zaman khalifah Abu Bakar dan Umar, Ummu Salamah yang pernah menjadi penasehat Nabi Saw. atau Rabi'ah al-Adawiyyah tokoh yang menggema karena kesufiannya.

Dalam berbagai hal, syara' memang tidak memberikan jurang pemisah antara wanita dan laki-laki. Hal ini dapat dibuktikan dalam firman Allah surat an Nisaa: 32,"…Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…" Namun apakah hal ini sama dengan apa yang digemakan oleh mereka para pejuang gender?

Jika kita cermati dan bandingkan kejadian Sayyidah Khadijah, 'Asiyah, maupun Fatimah RA. dalam dunia perpolitikan Islam dan apa yang diperjuangkan oleh para pejuang gender, jelas bertolak belakang dari berbagai sudut. Buktinya, mari kita tilik latar belakangnya.

Khadijah adalah istri yang sangat dicintai Nabi, sampai-sampai 'Aisyah cemburu karena Nabi masih sering menyebut namanya walau ia telah wafat. Hal ini disebabkan baktinya kepada Nabi, contoh kecilnya ketika ia yang kaya raya masih mau mengirimkan makanan ke gua hira. Kalau pejuang gender zaman sekarang, apa mereka mau untuk melakukan hal itu?

Ketika kejadian Perang Jamal, didasari tuntutan mengungkap pembunuh Usman, Sayyidah 'Aisyah melakukan infansi kepada Ali, bukan tuntutan agar ia menjadi khalifah karena statusnya sebagai istri Nabi.

Sebagai bukti bahwa 'Aisyah tidak menuntut menjadi khalifah adalah; pertama, Sayyidah 'Aisyah ialah seorang sahabat serta istri yang sering mengikuti Nabi, sehingga ia menjadi rujukan para sahabat yang lain dalam menentukan hukum, termasuk dalam menentukan tuntutan siapa pembunuh sayyidina 'Usman. Kedua, dalam Perang Jamal dari pembesar sahabat tidak hanya 'Aisyah saja, melainkan juga ada sahabat Zubair dan Thalhah.

Tuntutan hak waris yang dilakukan Sayyidah Fatimah pada masanya khalifahan Abu Bakar dan Umar didasari oleh ketidaktahuan Fatimah akan hadis Nabi, "Sesungguhnya kita golongan para Nabi tidak diwarisi , apa yang kita tinggalkan adalah shadaqah." Terbukti ketika Sayyidah Fatimah tahu akan hadis tersebut lantas ia seketika menerima dan tidak lagi menuntut hak warisnya sebagai anak Nabi.

Cermati pula dalam perang Badar, di sana terdapat srikandi Islam, , ataupun Shafiyyah yang juga mengikuti perang Uhud, Khandaq, serta yang lainnya.

Selain itu, bila kita tilik sejarah perjuangan Indonesia, semisal Cut Nyak Dien, ternyata juga tidak lepas dari sang suami, baik suami pertama atau keduanya. Suami mereka yang termasuk srikandi Islam tidak mementingkan kepemimpinan harus dipangku olehnya, karena hal itu dianggap bukan esensi dari sebuah perjuangan.

Dari sejarah di atas, adakah pembeda, pemisah, pemilah antara hak laki-laki dan perempuan. Wanita ingin berjuang, lelakipun mempersilahkan, seperti perjuangan Khadijah dan Cut Nyak Dien. Lelaki berperang, wanitapun boleh ikut, sebagaimana Umu 'Ammarah. Atau barangkali kesetaraan apa lagi yang selama ini didengungkan mereka, aktivis kesetaraan gender?

Untuk kasus poligami sudah tidak relevan, wanita mendapatkan hak waris sama dengan laki-laki, atau yang lainnya, secara garis besar merupakan sesuatu yang tanpa alasan dan hanya rekayasa orientalis.

Poligami di syariatkan karena memang bermanfaat. Perempuan membutuhkan pengayom, suami, seorang anak butuh ayah. Ketika zamannya Nabi Musa as. laki-laki boleh menikah dengan 100 wanita, karena memandang di butuhkannya laki-laki bagi perempuan, yang waktu itu berbanding jauh sekali. Sedang sekarang dicukupkan menikahi empat perempuan saja, karena situasinya memang menuntut demikian.

Sifat tidak dapat berbuat adil juga tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan hukum poligami, sebab masalah itu berkenaan dengan sifat dan pribadi suami masing-masing. So, mestinya bukan poligami yang dihapus, tapi bagaimana para lelaki itu mampu untuk lebih bertanggung jawab sebagai suami dan ayah.

Tuntutan persamaaan hak waris juga mengada-ngada yang jelas bertentangan dengan al-Quran, "…Allah mensyari'atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan..," QS.an-Nisaa:11.

Pada zaman yang penuh gaung persamaan gender, para wanita lebih baik meniru apa yang telah dilakukan Khadijah, mencontoh Fatimah, 'Aisyah, ataupun Rabi'ah al-Adawiyyah, karena menurut hemat penulis Itu lebih bermanfaat dan sejalan dengan al-Quran dan Hadis. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Pengirim : M. Hammam Mihron
Tanggal : 21.01.2010, 07:16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar