Jumat, 22 Januari 2010

MELACAK IDENTITAS SAINS ISLAM

MELACAK IDENTITAS SAINS ISLAM

”Barang siapa melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya.” (Jamaluddin al-Afgani)

Dilatar belakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat dengan globalisasinya, westernisasi dan berbagai ideologinya tersebar ke seluruh dunia, termasuk Islam. Komunitas muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Begitu mengakarnya di setiap sendi kehidupan berakibat pada terjadinya pengkaburan paradigma, cara pandang terhadap sains Islam. Sehingga banyak di antara kita yang sulit untuk mengidentifikasi, sinis, bahkan takut terhadap identitas kita sendiri. Tidak sedikit cendekiawan muslim yang canggung terhadap sifat Islam terutama pada ilmu sosiologi, fisika, psikologi, politik, dan ilmu ekonomi.

Padahal ketika seseorang menyebut sains modern atau sains Barat, tanpa disadari telah meletakkan identitas itu, yaitu sains yang diproduksi oleh ideologi dan panda-ngan-pandangan dari Barat. Dampak dari hilangnya identitas itu dapat diamati dari berbagai pernyataan cendekiawan muslim. Jamaluddin al Afghani seorang tokoh pembaharu misalnya mengatakan, ”Barang siapa melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya.”

Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan bahkan tidak ada ketidakse-suaian dengan ilmu pengetahuan dasar-dasar agama. Sebagaimana yang disinyalir oleh al Afgani di atas.

Definisi Sains

Sains adalah pengetahuan tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya adalah botani, fisika, kimia, geologi dan biologi. Bisa juga dikatakan pengetahuan sistematis yang diperoleh dari observasi penelitian dan uji coba yang mengarah pada penemuan sifat dasar atau prinsip sesuatau yang diteliti. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan akal manusia serta mengakui ilmu pengetahuan termasuk sains yang berasal dari Tuhan, sementara identitas sains Barat seperti yang disinyalir Mayam Jamillah, ”Sains modern tidak dibimbing oleh kehidupan nilai moral dan bahkan dikuasai oleh materialis-me dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya terkontamitnasi oleh borok yang sama.”

Oleh karenanya, indikasi dari pernyataan ini jelas, bahwa sains Barat itu sudah tidak netral dan tentu berbeda dengan sains Islam. Terbukti sains Barat tidak memberi tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan. Realita Tuhan tidak menjadi pertimbangan lagi dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riil. Sehingga agama, bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi kemudian dimarginalkan.

Secara lebih luas, perbedaan keduanya jika ditelu-suri dari pandangan hidup (world view). Perbedaan panda-ngan hidup berarti perbedaan konsep fundamental lainnya yang di dalamnya tentang konsep Tuhan, ilmu, manusia dan alam, etika dan agama berbeda-beda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situsasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya sains Barat modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup Islam.

Dalam Islam pengetahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan akal saja, tapi juga wahyu, instuisi dan pengalaman. Tapi dalam sains Barat akal diletakan lebih tinggi dari pada wahyu. Sehingga sains tidak berhubungan harmonis dengan agama bahkan meninggalkan agama.

Cara Pandang Islam Terhadap Kosmos

Menurut pandangan hidup Islam, alam semesta ini adalah great book, kitab ciptaan Tuhan oleh karenanya alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandangan hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaima-na Islam memandang alam sebagai obyek utama sains.

Cara pandang Islam yang di refleksikan oleh panda-ngan hidup Islam dapat di lacak dari peristilahan yang di gunakan dalam Alquran dan hadits. Istilah ilmu (‘ilm), ilmuwan (al ‘alim), dan alam (al ‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama dengan moralitas manusia.

Ini menunjukan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. Kaitan antara ilmu, ilmuwan, dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya mempunyai indikasi-indikasi kuat. Korelasi ketiganya bagi orang yang mau berpikir akan menunjukan tuhan adalah penciptanya. Integralitas seperti yang digambarkan di atas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat muslim dann itu adalah sebagian dari world view Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam.

Pandangan para ilmuwan, yang dalam hal ini adalah ilmuwan muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan al-Quran yang dijelaskan oleh Nabi Saw. Bagaimana Nabi Saw. mentransformasikan panda-ngan hidup Islam yang terkandung dalam al Quran dapat ditelusuri terutama sejak Nabi hijrah ke Madinah. Nabi membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa selanjutnya.

As-Shuffah adalah universitas pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi. Di Madinah mahasisiwanya: disebut Ashab as-Shuffah atau Ahl as-Shuffah. Di dalamnya mere-ka menulis, membaca, belajar hukum-hukum Islam dan mempraktekan kandungan al quran dan ilmu-ilmu lainya.

Ubaidah Ibn al-Samith seperti disebut dalam Sunan Abu Daud ditunjuk oleh Nabi sebagai pengajar di Madrasah as-Shuffah untuk belajar menulis dan ilmu al-Quran.

Aktifitas ilmiah dalam rangka memahami al Quran yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan. Hingga ada mata rantai yang mennghubungkan generasi ke generasi selanjutnya.

Dengan paparan di atas, identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi baik secara historis, teoristis, ataupun propestif.

Faktor Kemunduran Sains Islam

Dalam sebuah observasi profesor al-Hasan, sains Islam mencapai puncak kemajuan antara abad 13 dan 16. Pernyataan ini mungkin mengejutkan peneliti sejarah sains Islam. Karena mayoritas orientalis dan cendikiawan muslim yang telah telah terkontaminasi oleh sains Barat berpenda-pat bahwa gara-gara serangan al-Ghazali pada abad ke-10 terhadap filsafat dan sains mengalami kemunduran padahal pada abad ke 13 sains Islam melangkah menuju puncaknya.

Kini persoalanya bukan apakah masalah sains Islam ada atau pernah ada, tapi apa yang menyebabkan sains Islam itu mengalami kemunduran. Al-Hasan menyimpul-kan ada empat sebab. Pertama, karena faktor ekologi dan alam. Kedua, karena faktor invasi-invasi external. Ketiga, adalah hacurnya pandangan internasional dan berkem-bangnya kekuatan Barat, dan keempat adalah faktor intervensi dan kolonialisasi militer. Karena faktor inilah, dunia Islam tidak lagi leading dalam bidang sains seperti abad ke 13 dan 16. Terbukti dengan adanya sainstis-sainstis berwibawa seperti Ibn Haitham, Ibnu Sina, al-Khawarizmi, al-Bairuni, Omar Khayyan, dan lain sebagainya. Terlepas dari kontroversi yang melingkupi kehidupan mereka.

Formulasi Hegemoni Filsafat Sains Barat

Dilematis yang terjadi saat ini memang tidak bisa dicari formulasi yang serta merta tepat atas hegemoni Barat terhadap sains Islam yang telah banyak mereka adopsi. Namun, di sisi lain kita tidak boleh apatis tentang hal itu. Untuk itu Sayyed Husein memberikan rambu-rambu bagi perjalanan menuju terciptanya sains Islam yang murni.

Pertama, adalah menghilangkan sikap “memuja” sains dan teknologi Barat. Kedua, adalah perlu ada pendalaman Kembali terhadap sumber-sumber Islam tradisional. Ketiga, muslim perlu mempelajari lagi sains modern setinggi-tingginya khususnya sains murni. Dan keempat, menghidupkan kembali sains Islam tradisional sebisa mungkin khususnya dalam bidang kedokteran, farmasi, pertanian dan arsitektur.

Bidang-bidang ini tidak hanya akan menciptakan rasa percaya diri terhadap kultur kita sendiri, tapi juga akan memberi konsekuensi sosial. Sangat aneh jika kini akupuntur, ayurveda, yoga, homophaty sangat marak, sementara kita absen dari aktifitas pengobatan alternatif.

Kelima, menciptakan kembali sains Islam dengan mengawinkan etika, moralitas, dan sains. Yang terakhir inilah yang absen dari dunia modern.

Kalau Emanuel kant mengatakan “I feld the need to leave behind all the book, I need in order to believe in good.” (saya merasa perlu meniggalkan semua buku yang saya baca agar percaya sama Tuhan). Maka bagi kita harus berargumen “Saya perlu meninggalkan semua buku yang saya baca kalau buku itu tidak menambah keimanan pada Tuhan.

Jika Kant memilih logika Either Or, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru mengintegralkan ilmu dan Tuhan. Wallahu’alam bisshawab.

Pengirim : Khusnul Munif/ Mading

Tidak ada komentar:

Posting Komentar